Cerpen Perempuan Beriris Cokelat, Sebuah Kisah Tentang Feminisme. Perempuan Wajib Baca


Tatkala persahabatan dibumbui dengan perdebatan paham akan feminisme. Dialog perempuan beriris cokelat dan sahabatnya yang mencengangkan. 
Cerpen Perempuan Beriris Cokelat berkisah tentang dua orang sahabat yang berbeda pandangan tentang feminisme. 
Bagaimana akhir kisah keduanya setelah terjadi perdebatan sengit tentang feminisme? Silakan dibaca cerpen Perempuan Beriris Cokelat sampai selesai. Happy reading ☺️

Perempuan Beriris Cokelat
Oleh : Che Khayrine

Senja menyapa perempuan yang berdiri di balkon itu. Ia memandangi rumpunan ilalang yang terhampar sampai ke batas pantai di depan rumahnya. Tak peduli embusan angin membuat hijabnya terlihat tak beraturan dan dingin menyapu kulit. Sesekali tatapannya menengadah ke langit, mengamati gumpalan awan yang bertautan. Adakala pandangannya beralih ke samping, menatap perempuan pemilik iris cokelat terang.
Semilir angin menyelisik masuk ke dalam langkan. Menyisipkan kesejukan bagi dua perempuan yang bercengkerama menikmati burit. Ita dan Rika, sahabat yang kental dalam ikatan suka duka, melebihi atas nama cinta.
“Kamu yakin nggak lanjut kuliah?” Perempuan dengan sorot mata cokelat terang berbalik menatap wajah sahabatnya lekat-lekat. Keduanya saling beradu pandang.
“Mungkin ini yang terbaik, Rik. Aku nggak tega membiarkan ibuku bekerja dan mengurus adik-adikku sendirian. Pagi hari aku bisa bekerja menjaga warung. Sore hari aku akan mengajar anak-anak mengaji.” Ita menyunggingkan senyum simpul.
“Tapi, bagaimanapun, jangan sampai lupakan janji kita, ya!” imbuh Ita menitip pesan.
“Pasti! Di mana saja kita berada, kita harus menebar manfaat. Syar’i-kan hijab dan diri kita serta orang-orang di sekitar kita!” ujar Rika lantang, menyerukan moto mereka. Suaranya khas mezzo-soprano dan berkarisma. Jilbab putih besarnya yang menjuntai hingga lutut tertiup angin lembut. Selaput pelangi cokelat terangnya berbinar indah.
Kedua sahabat itu saling berpelukan. Mentari yang menyisakan berkas sinar jingga, menjadi saksi perpisahan dua perempuan yang kini terbang berbeda arah. Perempuan yang satu mengejar cita ke seberang. Sedangkan yang lainnya menetap dan menebar benih pada sekitar.

***

Di dalam sebuah bus yang penuh sesak, memori tentang perempuan beriris cokelat berlompatan. Episode kenangan dalam manis hijrah bersamanya menari-nari dalam ingatan. Bertahun-tahun ia dan Rika selalu bersama semenjak Sekolah Dasar. Dimana ada Rika, disitu ada Ita. Tak seperti siswa sekolah pada umumnya yang hanya berkutat pada pelajaran, dua perempuan itu telah mengukir cita untuk berdakwah, menyeru dalam kebaikan. Terlebih Rika, tiap melihat teman yang akhirnya memutuskan berhijab, senyumnya akan merekah seharian. Rika yang selalu di garda terdepan dalam kebaikan. Seperti itulah sosok perempuan beriris cokelat terang yang ia kenal.
Senyum Ita mengembang dari balik cadar hitam yang menutup rapat. Hati berlonjakan tak sabar menceritakan setiap detil kebermanfaatan nyata sebagaimana janji yang telah mereka ukir berdua. Sekitar lima belas menit lagi, bus akan sampai di pemberhentian terakhirnya. Tempat ia dan Rika akan segera bertemu, setelah dua tahun lebih tak bersua.
Kerumunan orang berjubel menuruni bus. Pedagang asongan menjajakan dagangan hilir mudik. Beberapa orang bersiap menaiki bus sebelah yang akan segera berangkat. Setelah turun dari bus, sorot mata Ita bergerak-gerak mencari keberadaan sosok yang amat ia rindu. Masih tak ia temukan perawakan sahabatnya setelah beberapa menit. Bosan berdiam diri di antara kursi tunggu terminal, ia melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar.
Barangkali Rika telah ada disana, pikirnya.
Dari balik belokan menuju pintu keluar, ia mendengar suara khas, suara seseorang yang telah lama ia kenal. Dari balik kaca hitam yang menghalangi pintu, pandangannya menyelidik. Tampak seorang perempuan mengenakan baju rajutan tanpa kerah berwarna merah. Celana jeans ketat membalut indah kaki jenjang perempuan itu. Rambut hitam bergelombangnya tergerai indah. Tubuhnya yang tinggi semampai nampak menjulang di sebelah lelaki berperawakan tinggi besar yang sedang bercengkerama dengannya.
Ah, konyol! Bagaimana bisa itu Rika? Tak mungkin perempuan itu Rika, batinnya acuh.
Saat hendak melangkahkan kaki keluar, mendadak langkahnya tercekat. Nama Rika terlontar dari mulut lelaki kekar berperawakan maskulin itu. Ia jelas mendengar lelaki tadi memanggilnya Rika.
Tak salah dengarkan? Pikiran aneh merasukinya. Sebagian hatinya menyangkal, sebagian yang lain penasaran. Setengah tekad dengan agak parau ia mencoba memanggil perempuan yang kini berdiri tepat membelakanginya.
“Rika ...?”
Perempuan yang dipanggil itu menoleh. Sorot matanya menyelidik. Alisnya tertaut melihat sosok mirip ninja dihadapannya.
“Ita ...?”
Ia amati lekat-lekat binar mata itu. Ia pastikan sinar pelangi perempuan berkardigan merah itu serupa perempuan beriris cokelat terang. Terentak. Seketika cita dan asa yang selama ini ia semat dalam dada lungkah mengelotok satu per satu. Kaki Ita kebas.
Ita terduduk lemas di kursi dekat pintu keluar. Isi kepalanya mencoba mencerna yang telah terjadi. Terkadang Rika menanyainya, namun ia hanya menjawab singkat. Lidahnya kelu untuk berucap.
"Kamu pasti syok, ya, melihatku bisa seperti ini,” ujar Rika, seakan ia tahu banyak pertanyaan yang memenuhi benak sahabatnya.
Ita geming. Perasaannya bergemuruh tak tentu. Matanya perih untuk menatap cita yang kini utopis. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia mencoba menguatkan dirinya untuk bertanya. “Ceritakan padaku, Rik. Kenapa kamu berubah?” pintanya lirih.
"Berubah? Aku masih Rika yang sama, Ta. Hanya sudut pandangku akan hidup saja yang berbeda. Tak usah terlalu dipermasalahkan hanya karena jalanku berbeda. Kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini,” ucap Rika sembari menerawang ke arah langit-langit ruangan.
"Disini aku belajar bahwa nilai-nilai transenden tak melulu soal pakaian, Ta. Nilai-nilai humanisme, kultural, nasionalisme, kebebasan berekspresi itu yang aku suarakan. Aku yang sekarang tak mau mereduksi agama hanya pada selembar kain.” Kalimatnya menegas, matanya memandang tajam, sembari menusuk ke dalam pakaian yang Ita kenakan.
"Hijab bukan selembar kain. Ini bukti ketaatan pada Tuhan dalam lingkungan yang sulit. Inilah keberanian, iman dalam praktik, dan kewanitaan sejati. Kamulah yang telah mereduksi nilai kewanitaan hanya pada sepatu hak tinggi dan lipstik!” Mata Ita memerah. Suaranya makin serak. Bulir mata menggenang membasahi kain penutup wajahnya.
“Keputusan untuk berhijab atau tidak itu keputusan paling personal antara aku dan Tuhanku. Tak patut bagi orang lain untuk berusaha paling benar dalam menjalankan perintahNya. Berjilbab itu baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Kita manusia. Kita bebas mengekspresikan diri sesuai penafsiran kita,” balas Rika yakin.
Alis Ita mengerut tak percaya. Lantunan permohonan ampun padaNya terapal pelan dari bibirnya. Remuk redam dadanya mendengar retorika sahabatnya yang kebablasan. Dengan sisa-sisa kekuatan batin, Ita bangkit berdiri. Lurus tajam ia tatap wajah Rika.
“Bukankah kamu pernah bilang, kalau tak sembarang orang boleh melihat aurat kita? Sesuatu yang bagus itu harus dilindungi. Karena bagus itulah maka tak sembarang orang boleh melihatnya. Dan hijab adalah bentuk perlindungan agama kita terhadap wanita. Aku harap kamu segera mendapat kebebasan yang kamu mau. Tapi ingat, kebebasan adalah melakukan hal yang benar. Bukan melakukan apa yang kamu mau.”
Pertengkaran itu menarik minat orang lalu-lalang di sekitar terminal. Tatapan tajam dan rasa ingin tahu menusuk ke arah dua perempuan yang kini saling terdiam. Sementara keduanya sibuk mengelana dalam pikiran masing-masing.
Tanpa banyak kata lagi, Ita beranjak dari tempatnya dan pergi meninggalkan Rika. Perasaan mendongkol sekaligus kecewa antara dua sahabat yang saling berdebat. Mengalir panas ke celah ubun-ubun mereka. Kali terakhir, sebelum mereka benar-benar tak dapat bertemu lagi.

***

Lagi-lagi di balkon rumah Ita menerawang. Mengingat episode kenangannya bersama Rika. Setelah tiga hari belakangan ini ia tak tidur sementara mulutnya tak henti berkomat-kamit dalam hati, mengingat perjumpaan terakhir dengan sahabat baiknya. Namun pagi ini ia mendapat kabar yang menyentak dan menggemparkan.
Pandangannya sedari tadi tak lepas dari gawai. Nampak gambar wanita dengan mata beriris cokelat terang yang telah lama ia kenal. Rambut hitam bergelombangnya terurai diatas kebaya merah berbelahan dada. Di bawahnya tertulis, “Mahasiswi Cantik Tewas Dibunuh Pacar di Kamar Kos”. Judul berita dari portal yang membuat dada Ita sesak bergemuruh. Matanya sembap. Kesedihan memeluknya seperti polio, diam dan melumpuhkan. Sebelum kegelapan sementara merenggutnya, Ita melihat Rika berdiri tepat di depannya, dengan wajah pucat dan raut ambigu. Samar-samar. Lalu, hitam menyergap.

Comments