Ethereal : Cerpen Tentang Cinta, Kenangan, dan Kunang-Kunang

ETHEREAL
Ia kembali ke kota Solo karena kenangan dari seberkas cahaya ethereal. Padahal ia berharap menghabiskan liburan di Pulau Bali. Meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, melainkan karena mencari berita. Ya, hanya demi sebuah berita yang mengusik jiwa jurnalistiknya.
Gurat wajah Fandy akan menegas setiap menceritakannya pada Reina. “Itu termasuk zona ruang pemanfaatan umum, bukan zona konservasi, Rei. Zona itu bebas untuk direklamasi.”
Mata Reina memicing malas. Ia cukup jengah mendengar Fandy mengatakan itu berulang kali.
“Kau harus melihatnya sendiri. Betapa terlukanya 39 desa adat di Bali. Dan betapa terancamnya ratusan ribu masyarakat pesisir kehilangan ruang hidupnya karena reklamasi,” imbuh Fandy lagi dengan menggebu-gebu.
“Ganti topik, please.” Reina mengatakan dengan jengkel. Bibirnya manyun.
“Itulah risiko punya pacar jurnalis, Rei. Kau harus lebih dulu menjadi berita dengan headline yang menarik untuk membuatnya tertarik membicarakan hal krusial tentang hubungan kalian,” kelakar teman Reina.
“Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Fandy lebih tertarik memperhatikan berita ketimbang perempuan rok mini.” Reina tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan headline berita.
Seperti tak menyadari kejengkelan Reina, Fandy tetap lanjut bercerita tapi dengan topik berbeda. “Aku dapat hasil wawancara mencengangkan kemarin. Di Sindur, sekitar seratus korban meninggal karena kecelakaan dengan truk tambang. Kau tahu, jalan yang dilewati seribu truk tiap hari itu, ruas jalannya sempit, berlubang, dan minim penerangan.”
Reina menggerutu sebal. Setiap saat ada kesempatan bertemu—saat seharusnya menghabiskan setiap detik untuk memadu kasih—Fandy justru sibuk bicara soal berita-berita yang ia tangani. Pernah ia bercerita tentang pembangunan PLTA yang mengancam Orangutan Tapanuli, manipulasi tender proyek kapal listrik PLN, kejanggalan pengelolaan duit Liga Santri—dan entah berita-berita apa lagi—sampai obsesinya mengupas huru-hara kerusuhan 98.
Masih terngiang di ingatannya, kata-kata terakhir Fandy sebelum mereka berpisah malam itu. “Aku akan menjadi orang pertama yang menggali mendalam kekisruhan politik Mei 98 di Solo. Lalu aku akan menghubungkannya dengan politik di Jakarta.”
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati jl. Ronggowarsito menyelusup masuk Kafe Tiga Tjeret. Reina kembali ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati wedang uwuh di kafe ini, ia bertemu dengan Fandy yang muncul dengan menjinjing laptop di tangannya. Karena nyaris tak ada meja kosong, lelaki itu mendekati mejanya.
“Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa laptop sekaligus charger? Karena kalau aku membawa Agnes Monica pasti kafe ini akan penuh sesak. Dan kau tak bisa dengan tenang menikmati wedang uwuh-mu.”
Entahlah, saat itu rasanya candaannya begitu lucu. Mungkin itu sebabnya, pertemuan pertama selalu berkesan, sehingga membuat selalu ingin mengulang kenangan.
***
“Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang seperti dalam novel Kunang-kunang karya Delbin Clyte?” tanya Fandy saat makan malam berdua dengan Reina di Tiga Tjeret.
Saat menyadari Reina tak terlalu memperhatikan pertanyaannya dan lebih sering memandangi langit muram yang membayang di balik jendela, Fandy mengarahkan wajahnya tepat di hadapan Reina, “Percayalah, di sana nanti kau akan melihat kunang-kunang yang indah. Dan aku akan memperlihatkan padamu sekarang.”
Dengan wajah yang manyun, Reina menghela napas. Ini jelas bukan liburan yang ia idamkan. Atau sama sekali tak berlibur. Fandy tak membawanya ke mana-mana. Ia masih ada di kota Solo—tempatnya kuliah sekaligus tempat pertemuan pertama mereka.
Namun, kali ini Fandy mengajaknya ke sebuah area yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya di kota Bengawan itu. Pemukiman terbengkalai. Banyak toko kosong dan gosong bekas terbakar yang dibiarkan begitu saja.
“Di sini ada banyak kunang-kunang. Aku menemukan tempat ini saat meneliti terkait kerusuhan 98.” Fandy membusungkan dadanya.
Reina memang ingin melihat kunang-kunang, tapi bukan sekarang. Sebelumnya ia membayangkan akan berwisata di pantai yang eksotis, dengan hamparan persawahan di sepanjang perjalanan. Fandy seakan abai pada kedongkolannya, sibuk mengajak Reina masuk ke arah kunang-kunang berkembang biak.
“Lihat!” seru Fandy. “Kunang-kunangnya mulai muncul!”
Itulah detik-detik yang tak akan dilupakan seumur hidupnya. Kunang-kunang berhamburan keluar dari balik gedung-gedung gosong. Beberapa melayang-layang rendah. Beberapa beterbangan mengitarinya.
Seakan tersihir, ia merasakan keheningan yang pelan-pelan menyergapnya. Lalu geletar sayap kunang-kunang itu melintas dekat telinganya. Membisikkan suara-suara aneh yang makin jelas dan nyata.
“Lihatlah api yang berkobar itu! Tubuhku hangus di sana!”
Suara itu merasuk ke alam bawah sadar Reina.
“Lihatlah gedung kosong itu! Mereka memerkosaku dengan keji.”
“Mereka beringas!”
Suara-suara itu makin menusuk pendengarannya.
“Mayatku belum ditemukan sampai sekarang ....”
“Lihatlah... Lihatlah....”
Puluhan suara itu menghunjam tajam. Reina seperti terseret masuk ke arah suara-suara itu. Lalu pendar nyala kuning bergerombol menusuk matanya. Tampak nyata. Kunang-kunang itu memancarkan cahaya ethereal—semacam cahaya halus yang bukan bagian dari dunia ini.
“Reina!”
Teriakan cemas yang memanggil namanya tak dihiraukan.
“Reina!”
Fandy segera menarik tangan Reina dan mengguncang-guncang bahunya. “Sadar, Rei!”
Suara-suara itu perlahan melenyap. Namun bagai ada sebagian dirinya yang larut terbawa kunang-kunang ethereal itu. Bagian jiwa kosong yang tak terlukiskan.
Memang, ia seperti dapat merasakan ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu. Suara-suara gaib kali pertama yang tak dapat dihapus dari ingatannya begitu saja. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian kembali ke kota ini, untuk kunang-kunang dengan sinar ethereal dan kenangan.
Semakin malam, jutaan kunang-kunang kian berhamburan. Menghiasi langit malam dengan cahaya pendar kekuningan. Kerlap-kerlip, berdenyut lembut menggenangi langit. Tak kapok dengan kejadian mistis itu, untuk sekian kalinya, Reina dan Fandy berbaring di atas rerumputan memandang gemerlap kunang-kunang memenuhi langit kota.
***
Ia tengah dalam perjalanan ke Klaten ketika menerima telepon itu: Fandy meninggal dunia. Beberapa orang bercerita menyaksikan Fandy tenggelam—atau ditenggelamkan—ke laut. Namun, tak ada yang pasti. Jasadnya masih belum diketemukan. Atau mungkin benar desas-desus itu: Fandy dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kerusuhan yang terjadi bertahun-tahun lalu.
Populasi kunang-kunang kian meningkat dari tahun ke tahun. Kemunculannya di langit kota Solo menjadi fenomena yang menakjubkan. Hingga mulai banyak orang yang menjadikan gedung-gedung gosong itu sebagai tempat wisata. Terlebih saat bulan Mei, saat musim kunang-kunang berkembang biak. Mereka akan menghambur ke langit. Menggerombol lalu menyebar indah bak kembang api merekah jingga. Pengunjung saling berdempetan di atas rumput sekadar melihat kunang-kunang yang meliuk-liuk di langit malam.
Pemerintah daerah lalu menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata. Para penduduk lokal menggelar jajanan di sepanjang jalan. Ada yang menyewakan tikar. Pun ada yang menjual mainan anak-anak untuk menarik pengunjung. Tukang parkir pun turut mengambil untung dengan ratusan motor yang berjubel memadati jalan.
Saking banyaknya pengunjung yang menyaksikan, beberapa orang sudah menunggu sejak mentari belum terbenam agar mendapat tempat duduk yang paling nyaman. Para pengunjung akan bersorak-sorai saat satu per satu kunang-kunang muncul melintasi langit kota dan memancarkan kerlip kekuningannya yang memesona.
Mata Reina selalu berkaca-kaca tiap kali menyaksikan itu: membayangkan seolah Fandy duduk di sampingnya sembari mengamati kunang-kunang yang berpendar. Lalu ia menghangatkan malam dengan mengisahkan berbagai hal tentang berita yang digarapnya. Itulah sebabnya kenangan dari seberkas cahaya ethereal selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kunang-kunang dengan mata berkaca-kaca, hingga pengunjung di sebelahnya berkata, “Terkadang kesedihan itu muncul saat kita melihat suatu hal yang indah.”
Reina menghapus bulir kristal dari sudut matanya. Sembari tersenyum tipis ia berkata, “Saya hanya teringat peristiwa yang membuat kunang-kunang itu muncul. Apakah njenengan masih ingat peristiwa itu?”
Pengunjung itu mengernyitkan alisnya dan menggeleng. Reina tak kaget. Orang-orang memang sudah melupakan awal mula munculnya kunang-kunang sekaligus penyebab gosongnya gedung-gedung itu.

Comments