Setelah pensiun dari pekerjaan sebagai politikus, lelaki tua itu memutuskan untuk berjualan. “Masa tua tidak baik jika dihabiskan untuk memberi makan ayam sambil menunggu kematian,” begitu ia memotivasi dirinya sendiri. Maka dengan tenaganya yang belum melemah, ia mulai berdagang. Namun ia tidak menjual kentang goreng, es buah, atau roti bakar rasa cokelat keju, melainkan menjual sesuatu yang aneh dan mustahil : telepon waktu.
Sekilas telepon waktu nampak seperti warung telekomunikasi umumnya. Bentuknya kotak persegi panjang berukuran 1 meter x 1 meter. Di dalamnya ada sebuah meja dengan telepon di atasnya, kursi untuk duduk, serta timer yang dipasang di tembok untuk menghitung waktu. Anehnya, telepon waktu hanya bisa digunakan sekali dalam sehari. Itu pun hanya diberikan waktu 1 menit untuk bertelepon. Lebih dari itu, ia tidak bisa digunakan. Menurut akal sehat, telepon waktu itu mustahil. Setelah memencet nomor yang ada di telepon, maka penelepon bisa berbicara dengan diri penelepon itu sendiri di masa lampau, masa 7 tahun yang lalu.
Kebutuhan pokok warga kota Y adalah didengarkan, pikir lelaki tua yang selama 25 tahun terjun dalam dunia politik. Semua orang mempunyai kisah yang berat dan panjang. Mereka butuh pendengar yang sabar dan tidak menyela. Mereka bahkan rela membayar mahal untuk itu. Kebutuhan itulah yang menggerakkan bisnis telepon waktu.
Sejak membuka lapak pagi ini, telah banyak warga yang mengantre untuk menggunakan telepon waktu. Namun lelaki tua menolak semua yang datang pagi ini.
"Telepon waktu ini belum sesuai untukmu. Datanglah di lain waktu."
"Kamu terlalu muda untuk membeli senja."
"Hiduplah dengan baik. Tak usah lagi ikut mengantri disini."
Kalimat-kalimat penolakan terlontar dari bibir Lelaki Tua. Sudah lebih dari 10 pembeli yang datang, namun Lelaki Tua masih enggan menjual.
"Aku tak menjual senja pada sembarang orang," tuturnya kepada seorang pembeli yang ngotot ingin membayar berapa saja. Namun ditolak mentah-mentah.
Hingga terik siang, datang Lelaki Kumal menggendong tas hitam di punggungnya. Ia serahkan sebutir mutiara putih bersinar dari dalam tas ke hadapan Lelaki Tua.
"Aku ingin membeli senja. Kuserahkan hartaku yang paling berharga untuk membelinya."
Lelaki Tua manggut-manggut sembari mengamati lekat-lekat orang di hadapannya. Ia ambil mutiara itu. Lalu menyerahkan senja pada Lelaki Kumal. Di balik senja ada sebuah tulisan. Ia baca tulisan itu, "Gubuk Harapan jam 5 sore. Tajamkan rasa, pusatkan pikir, murnikan hati. Ikuti rute yang tertera."
Tak semua orang yang membeli senja, akan berhasil menyelami makna di dalamnya. Layaknya Lelaki Kumal yang saat ini masih terombang-ambing dalam pencarian rute. Dari siang hingga sore ia berjalan, terus mencari Gubuk Harapan. Hampir putus asa, Lelaki Kumal melangkah. Mujur, ia melihat sebuah gubuk di tengah padang ilalang. Ia hampiri gubuk itu, tertera disana "Gubuk Harapan", serta sudah ada Lelaki Tua yang duduk menunggunya disana.
Lelaki Tua penjual senja. Ia tak menjual lukisan tentang senja maupun tulisan tentang senja. Ia menjual raga senja. Dengan senyum tulus dan telinga yang tajam, ia dengarkan setiap keluh kesah para pembeli senja di sebuah gubuk harapan di antara ilalang sembari menikmati waktu senja. Pekerjaan yang sudah jarang dilakoni orang masa kini yang makin pandai beretorika. Mendengar dengan hati.
Comments
Post a Comment